Diganggu Sampai Dua Kali…




Kalau waktu itu internet sudah ada seperti saat ini, mungkin pengalaman mistis seperti yang aku alami waktu itu, sudah bisa diantisipasi sebelumnya. Karena dari salah satu blog biker, Mas Yudibatang memberikan guiden yang jelas, apa yang harus kita perbuat dan bagaimana menyikapi “sikon” bila terpaksa menempuh perjalanan malam hari dengan motor. Tipsnya cukup menarik , sangat berguna untuk kita-kita yang kebetulan jalan malam hari dan belum pernah “dibuka” kemampuan indera keenamnya, salah satunya tips sebagai berikut : Bila kita meluncur dimalam hari, dan tiba-tiba mencium bau seperti,

1. Bau bangkai yang sangat menyengat
Bila anda mencium aroma bau bangkai sangat menyengat, itu menandakan ada mahluk halus jenis Kuntilanak sedang muncul disekitar anda.

2. Bau Bakaran singkong
Bila anda mencium aroma bau singkong bakar, padahal disekitar anda tidak ada orang yang lagi membakar singkong, itu menandakan ada mahluk halus jenis Genderuwo sedang muncul disekitar anda.

3. Bau buah sawo yang sangat menyengat
Bila anda mencium bau buah sawo yang sangat menyengat, padahal disekitar anda tidak ada pohon sawo atau tukang buah-buahan yang menjual sawo, itu menandakan ada mahluk halus jenis “memedi sawah” sedang muncul disekitar anda. bila pas kebetulan anda lagi apes dan mencium aroma-arom tersebut, tetaplah tenang, bacalah do’a sesuai dengan kepercayaan masing-masing, tetap konsentrasi. Walaupun anda sudah mencium aroma-aroma tersebut, belum tentu mahluk halusnya akan nongol  

Petunjuk yang cukup praktis dan fungsional banget. Karena memang disusun dari pengalaman mas Yudhi batang dalam menyusuri jalanan.
Beda banget dengan zamanku waktu itu, boro-boro internet, televisi saja cuma satu yakni, TVRI. Jadilah saya harus mengalami berbagai peristiwa, termasuk salah satunya yang kuceritakan dibawah ini.
Siang itu, kami berlima bertakziah ke rumah ketua jurusan kami didaerah wates kulonprogo. Kami berangkat lepas pukul 10.00 pagi dari kampus gampingan mengendarai tiga motor, dua motor bebek yang cukup uzur, dan satu motor laki. Kami tidak mengira rumah pak Parsuki betul-betul terletak di jajaran perbukitan menoreh. 

Naik turun bukit dengan tanjakan hampir 25 derajat keatas, jadilah motor-motor tua kami harus mengalami siksaan lahir batin. Bahkan, rekan saya kris dan ganifianto harus berkali-kali turun untuk mendorong motornya supaya bisa naik. Siksaan ini baru berakhir sekitar pukul 2 siang, ketika kami bisa memasuki desa tajem, desa kelahiran pak Parsuki ketua jurusan kami itu. Sampai dikediaman pak parsuki, jenazah ibundanya baru saja dimakamkan. Jadinya kami hanya bisa bertakziah dirumahnya saja. Setelah basa-basi sebentar, dan tentu saja dijamu dengan makan dan minum hidangan khas desa yang tentu kami sambut dengan sukacita, kami berlima lalu mohon diri. 

Salah satu yang kuingat betul sampai saat ini adalah pesan dari pak Parsuki kepada kami untuk hati-hati bila melintasi desa “X” kurang lebih lima kilometeran dari kediaman pak Parsuki itu. “…pokoknya kalau kalian nanti melintasi sebuah makam di desa X itu, harus hati-hati, jangan sembrono, banyak berdoa ya…karena menurut perhitunganku kalian akan masuk didesa X itu kurang lebih pukul 19.00..” katanya “wanti-wanti (mengingatkan) kami”. Mendengar pesannya yang sangat serius itu, temanku Goib lalu mengambil alih pimpinan perjalanan kami, karena sebagai anak pecinta alam, goib tentu memiliki pengalaman lebih didalam membaca peta dan juga kondisi-kondisi darurat yang mungkin terjadi di jalan.

Betul juga prediksi pak Parsuki, medan yang kami lalui tidak kalah beratnya dengan ketika kami datang. Tetap menanjak dan turun dengan tajam, kiri kanan jalan jurang yang dalamnyanya lebih dari 10 meter. Malam itu, kami hanya berpedoman pada bulan, karena lampu motor tua kami tidak mampu menembus pekatnya malam. Banyak desa dan rumah yang kami lalui belum dialiri listrik. Lima ratus meter sebelum masuk desa “X” yang kami takutkan terjadi, motor ganif tiba-tiba mati total. Kami berlima berhenti, sesuai dengan pesan pak parsuki tadi, bila menjumpai kejadian seperti itu, kami harus banyak membaca doa, dan jangan lupa “uluk salam” kepada penghuni yang tidak kelihatan. 

Dengan dibantu “goib”, ganifianto kemudian turun dan membawa motornya agak menjauh dari tugu perbatasan desa itu. Alhamdulillah, motor bisa hidup dan dinaiki kembali. Aku kemudian diperintahkan goib untuk berada dibagian paling belakang, “..er, kamu jadi penyapu ranjau ya…biar sadzib dan gatot didepan, biar ganif bersama aku saja”. Kami semua “manut” dengan perintahnya, karena kalau rekan kita goib sudah membagi formasi demikian tentu akan banyak peristiwa-peristiwa yang tidak terduga akan kami alami nanti.

Kami lalu berjalan dengan formasi “urut kacang”, gatot dengan sadzib ada diurutan depan, sementara Goib dengan Ganifianto ada ditengah dan paling ujung belakang aku sendiri. Perjalanan cukup lancar, sampai akhirnya kami harus terpisah jauh karena tiba-tiba saya harus kencing. Setelah kencing, aku baru menyadari kalau jarak antara kami sudah terlalu jauh. Mungkin mereka tidak sadar atau memang niat mereka untuk mengerjai diriku, atau juga karena kesalahanku sendiri, karena waktu mau kencing aku tidak berusaha memberitahu mereka. Kalau jaman sekarang hal ini mustahil terjadi karena sarana telekomunikasi sudah sangat maju, saat itu jaman tahun 80an handphone belum ada.

Dengan membaca “Bismillah” aku mencoba menyusuri jalanan desa yang sudah sangat sepi itu, berkali-kali aku salah jalur, dan hampir jatuh ke jurang. Alhamdulilah masih bisa aku hindari, meskipun dengan keringat dingin bercucuran. Sampai di buk, yang menjadi perbatasan desa “x” dengan desa temon, aku melihat ada anak kecil, usianya sekitar 10 tahunan duduk menyendiri diatas “buk”. Secara naluriah, Aku kemudian menghentikan motor itu dan mencoba menyapanya “…kok sendirian saja, mana temanmu, mana rumahmu, ini sudah malam lho, tidak baik duduk-duduk sendirian disini?” kataku dengan beruntun. “omahku nong kono lik, terno mulih yo (rumahku disana paman, aku diantar pulang ya?” katanya dengan bahasa jawa ngoko sambil menunjukkan arah ke pojok bawah. 

Sebetulnya agak gamang juga, apalagi secara samar-samar aku mencium bau kentang disekitar situ. Namun karena arahnya sejalan, terus kasihan juga sama anak kecil yang tadi kedinginan rasanya, aku lalu memintanya naik diboncengan belakang. Pelan motor kujalankan, anak itu diam cuma tangannya yang dingin memegangi perutku dengan erat, hatiku mulai resah dan bulukudukku sering merinding. “..isik adoh le (masih jauh nak)” kataku memecah sepinya malam. Dari speedometer, nampak pandom sudah berjalan lebih kurang 3 kiloan. Dari sisi jarak sebetulnya tidak masalah, namun karena bau kentang rebus itu semakin menusuk hidung aku jadi agak goyah.

“..dalan ngarep itu, belok kiri lik. Itu rumahku sudah kelihatan, rumah yang paling terang lampunya” katanya dengan bisikan yang seperti sangat erat ditelingaku. Aku jadi bergidik, namun mulai merasa sedikit lega, karena rumah yang ditunjuk sudah kelihatan. Sampai ditempat yang ditunjuk anak itu, ternyata kedua orang tuanya sudah menunggu didepan rumah, wajahnya kelihatan sangat kawatir, dan baru lega setelah aku mengantar anaknya dengan selamat sampai kerumah. 

Dari ibunya, yang kelihatan sangat cantik, malah seperti keturunan bule itu, dengan rambut kemerahan yang berombak, aku mendapat informasi, bahwa tadi dia sekeluarga sedang berkunjung ke rumah saudaranya di desa “X” untuk menghadiri hajatan temanten. Namun anaknya”kesingsal” dan belum pulang sampai larut malam. Sampai dirumah, ternyata belum juga pulang, ditunggu sampai lama juga belum datang juga. Dia dan suaminya juga sudah mencari ketempat saudaranya yang punya hajat, anaknya juga tidak diketemukan. Maka betapa gembiranya, ketika dia melihat anaknya pulang dan diantar sampai kerumah dengan selamat tidak kurang satu apapun.

Sebagai ucapan terima kasih, kedua orang tua anak itu pengin memberikan hadiah, namun dengan berat hati kutolak, karena menurutku menolong orang itu adalah suatu kewajiban, jadi tidak perlu harus dihargai dengan hadiah apapun bentuknya. Mendengar penolakanku itu, ayahnya yang tinggi besar itu berkata dengan suara berat “..kowe wong jaman saiki sing isih tepo sliro, aku matur nuwun banget. Nek kowe ora gelem nompo pinwales seko aku, ora dadi ngopo…tak dongakno uripmu mengkone kepenak le..( kamu adalah orang yang masih menjunjung tinggi kebersamaan, aku mengucapkan terima kasih, kalau kamu tidak mau menerima hadiah dari kami, kami tidak sakit hati, aku doakan besok dikemudian hari hidupmu enak)” katanya sambil menyalamiku. 

Kembali dadaku bergetar, karena tangan itu terasa dingin, seperti es. Aku kemudian diijinkan pulang, cuma aku diingatkan untuk tidak menengok kebelakang sebelum melewati gapura rumahnya. Aku sebetulnya sangat penasaran, kok ada pesan yang aneh seperti itu. Namun entah perbawa apa, aku hanya bisa menuruti setiap perkataannya.
Begitu lewat gapura, aku sempatkan menengok kebelakang. Woooo….aku kaget dan badanku terasa dilolosi, karena yang kulihat bukan rumah megah model spanyolan, melainkan sebuh kuburan tua yang terletak dibawah pohon randu raksasa persis ditikungan jalan dipinggir jurang yang sangat gelap. Berkali-kali aku mengucap syukur kehadirat Allah SWT, karena terhindar dari malapetaka yang sangat mengerikan. Aku tidak bisa membayangkan, seandainya Allah SWT tadi tidak melindungiku tentu aku sudah terjatuh ke dalam jurang yang dalamnya lebih dari 30 meter itu.

Setelah bisa menguasahi diri, aku kemudian melanjutkan perjalanan. Jalan sudah relatif aman, tikungan dan turunan tajam sudah mulai berkurang. Namun menjelang sampai di pertigaan jalan wates, motorku mulai tersendat-sendat lagi dan berhenti total. Ku cek sebentar, ternyata bensinnya kosong. Dengan menggerutu aku kemudian mulai menuntun motor buntut itu, kurang lebih 100 meter aku melihat tukang tambal ban yang sudah mulai berkemas-kemas mau tutup, maklum sudah mendekati tengah malam. 

Untungnya tukang tambal itu masih mau melayani pembelian bensin eceran, meskipun dengan bersungut-sungut, karena harus masuk kedalam untuk mengambil tiga botol bensin yang kemudian dituangkan ke tagki motorku dengan gerakan yang agak kasar. Aku maklum, sehingga sebelum membayar, aku sempatkan untuk meminta maaf karena sudah mengganggunya.

Sampai di jembatan kali nongo, motorku dihentikan perempuan cantik yang tiba-tiba muncul dari balik pohon tanjung, untuk “nunut” sampai di perempatan gampingan jogja. Aku sebetulnya sudah merasa tidak enak, jangan-jangan dikerjai lagi. Namun karena perempuan itu memaksa, dan kelihatannya sangat butuh pertolongan supaya bisa cepat sampai untuk mengunjungi sauadaranya yang meninggal karena kecelakaan. Akupun manut saja. Belum begitu jauh kami berjalan, tiba-tiba perempuan itu berkata “…mas, ndak jadi nunut ke perempatan gampingan, saya ikut ke rumahnya masnya saja “ mendengar suaranya yang seperti itu, kontan badanku gemetar semua, bulu kudukku jadi meremang hebat. 

“aneh pikirku, jangan-jangan…”, aku langsung menghentikan motorku, dan menoleh kebelakang . Begitu membalik, Aku langsung gemetar badanku meriang bukan main dan seperti digantungi batu berton-ton beratnya, karena perempuan cantik tersebut berubah menjadi sosok pocongan, motorkupun jadi terasa berat, dan berhenti mendadak karena mati mesin. Gilanya lagi, pocongan itu tetap menclok dibelakangku duduk dengan nyaman diboncengan belakang, tidak hilang dan terus memegangi perutku dengan erat. 

Aku tidak bisa apa-apa lagi, suaraku hilang, dan yang lebih mengerankan lagi orang-orang yang tadi lalulalang disekitarku seperti tidak melihat sama sekali kehadiranku. Aku merasa seperti ganti alam, jalan yang biasanya aku tempuh tiap hari, jadi terasa asing. Seperti jalan yang baru pertama kali kujelajahi. “ayo mas, kenapa diam saja….hi hiiiii” suaranya terus menerus melekat ditelingaku. “anget mas…..angetttttt….enak mas….enak, ayo segera berangkat hi…hiiii” katanya lagi sambil nafasnya yang berbau busuk itu terus menerus meniupi telingaku. Aku sadar, dan tidak boleh larut dalam suasana yang betul-betul tidak aku pahami itu.

Pelan kukuasahi diriku kembali, keberanianku mulai tumbuh. Pelan aku melangkah, mendorong motor dengan kaki, karena mesinnya berkali-kali aku starter tidak mau hidup. “anget mas…ayo segera berangkat hiiii …..hiiiii” katanya kembali kepadaku. Karena jengkel, aku terus berhenti dengan berani, aku kemudian berkata “ tolong jangan ganggu aku, kalau tidak mau pergi terpaksa aku bertindak kasar kepadamu”, kataku sambil merapal ajian quhu geni yang waktu itu baru saja aku kuasahi, setelah hampir satu bulan aku melakukan aktifasi. Pelan pocongan itu menggelinjang, menggeliat dan melepas pegangannya di pinggangku, sambil berteriak “panasssss…tobat, panassssssss” dan wusssss hilang begitu saja, sambil meninggalkan asap yang berbau daging kebakar. Aku lega, nafasku yang kembang kempis tadi pelan pulih kembali. 

Orang-orang yang tadi tidak merasa kehadiranku, satu dua orang mulai menghampiriku “lho masnya ini dari mana, kok tiba-tiba sudah ada disini” sapanya sambil melihat-lihat diriku. Melihat diriku yang sedikit kebingungan, orang-orang yang ada disitu kemudian membawaku ke sebuah warung hik yang terletak 50 meter dari tepi jembatan. Setelah duduk dan diberi minuman hangat, baru aku bisa cerita, mengapa aku bisa berada disitu. “wo…..mase iki mari diganggu sadikem, mbeke (oh…masnya ini baru diganggu sadikem, mungkin)” kata salah satu tukang becak yang andok disitu. 

Dari mereka aku baru mengerti, bahwa sosok penunggu jembatan kali nongo itu memang suka jahil, suka mengganggu pemuda yang masih perjaka seperti aku ini. Untungnya, aku hanya diganggu dalam bentuk fisiknya saja, kalau sampai diganggu dari sisi mental mungkin aku sudah menanggung malu yang luar biasa, karena umumnya mereka biasanya diketemukan telanjang bulat dalam kondisi tidak sadar, tertidur dibatu besar yang ada dibawah jembatan itu. “tapi jangan kawatir mas, biasanya yang lolos dari gangguan sadikem biasanya dapat keberuntungan “ kata mas kadir pemilik warung hik itu. Aku cuma tersenyum, dan mengucapkan terima kasih karena sudah ditolong dan diberi minuman gratis. Setelah itu aku mohon diri untuk pulang ke rumah yang jaraknya tinggal 5 kiloan itu.

Dalam perjalan pulang aku cuma menggerutu “…mimpi apa semalaman kok diganggu makhluk halus sampai dua kali, mudah-mudahan Allah SWT mengganti dengan pengalaman yang lebih baik” kataku sambil memacu motor tua kesayanganku itu lebih cepat lagi. Entah kebetulan atau tidak, paginya aku mendapat panggilan kerja disebuah perusahaan penerbitan yang cukup bonafide di Surabaya, rasa syukur kupanjatkan kehadirat Allah SWT, yang sudah mengganti pengalaman yang menakutkan itu dengan panggilan kerja yang begitu ku tunggu-tunggu itu. Demikian kejadian yang cukup menggoreskan kenangan di masa akhir-akhir kuliahku di Jogja dulu. Mudah-mudahan bisa menambah pengalaman dalam kehidupan kita.

0 Response to "Diganggu Sampai Dua Kali…"

Posting Komentar